TATA NAMA (NOMENKLATUR)
Sudah menjadi naluri
manusia untuk memberi nama kepada apa saja yang ada di sekitarnya. Nama itu
merupakan sesuatu yang mutlak perlu dalam kehidupan sehari-hari, sebab tanpa
nama untuk mengacu benda-benda konkrit seperti tumbuh-tumbuhan maupun hal-hal
yang abstrak tidak mungkin kita lakukan.
Radford (1986) mengutip
pendapat Macself seperti yang ditulis oleh Johnson (1971): “Betapa aneh
dan kacaunya kehidupan ini
seandainya kita mengabaikan penggunaan nama yang kita pakai untuk mengidentifikasi
segala sesuatu yang kita lihat, buat atau pakai. Perolehan dan penyebaran pengetahuan
tentulah tidak mungkin lagi dan aktivitas kehidupan akan terhenti”. Sulit dibayangkan
bagaimana kita harus berkomunikasi satu dengan yang lain tanpa menyebut suatu
nama.
Pemberian nama pada
tumbuhan disebut nomenklatur atau tatanama. Cara pemberian nama itu
melibatkan asas-asas yang diatur oleh peraturan-peraturan yang dibuat dan
disahkan Kongres Botani sedunia. Peraturan-peraturan tersebut secara formal
dimuat pada Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (International Code of
Botanical Nomenclature). Tujuan utama sistem ini adalah menciptakan satu nama
untuk setiap takson (Rideng, 1989). Selanjutnya Rifai (1973) menyatakan bahwa
kode tatanama ini bertujuan untuk menyediakan cara yang mantap dalam pemberian
nama bagi kesatuan-kesatuan taksonomi, menjauhi atau menolak pemakaian
nama-nama yang mungkin menyebabkan kesalahan atau keragu-raguan atau yang menyebabkan
timbulnya kesimpangsiuran dalam ilmu pengetahuan. Tatanama ini juga bertujuan
menghindarkan terciptanya nama-nama yang tidak perlu.
Maksud pemberian nama pada
setiap kesatuan taksonomi tumbuh-tumbuhan bukanlah untuk menunjukkan ciri-ciri
atau sejarahnya, tetapi untuk memberikan jalan guna pengacuan dan sekaligus menunjukkan
tingkat kedudukan taksonominya.
1.1. SEJARAH TATANAMA TUMBUHAN
Dulu nama-nama ilmiah
tumbuhan itu merupakan sebuah pertelaan sehingga sering disebut nama pertelaan,
yaitu terdiri atas tiga atau lebih kata (disebut juga polinomial). Sebagai
contoh:
Sambucus caule arboreo
ramoso floribus umbellatis, artinya Sambucus
dengan batang berkayu dan bercabang-cabang serta bunga bentuk payung. Bisa
dibayangkan betapa rumitnya untuk berkomunikasi dengan nama yang panjang
seperti ini. Berdasarkan hal ini para ahli botani berusaha untuk memperbaiki
dan menyempurnakan sistim penamaan tersebut untuk mempermudah komunikasi.
Sejak tahun 1753 sistim
polynomial digantikan dengan binomial sejak publikasi “systema plantarum” oleh
Carolus Linnaeus dan berlaku secara internasional. Sistim binomial yaitu sistim
penamaan dimana nama jenis terdiri dari dua kata, kata pertama adalah nama
marga dan kata kedua merupakan penunjuk jenis atau spesies epithet. Contoh: Hibiscus
tiliaceus
1.2. NAMA UMUM
Dalam botani, pemberian
nama yang dimaksud bukanlah nama daerah atau nama umum yang biasa sehari-hari
diberikan orang yang hidup di sekitar tempat tumbuhan itu tumbuh. Hal ini
disebabkan karena untuk keperluan komunikasi ilmiah nama-nama daerah tersebut
sama sekali tidak memenuhi syarat. Nama daerah atau nama umum memiliki beberapa
kelemahan yaitu:
- Tidak bersifat menyeluruh atau hanya terbatas pengertiannya pada orang-orang sebahasa saja. Misalnya “gedang” dalam bahasa Madura berarti pisang, sedangkan dalam bahasa Sunda pepayalah yang dimaksud.
- Nama-nama umum biasanya tidak memberikan informasi yang menunjukkan hubungan kekerabatan, tidak bisa digunakan untuk membedakan bangsa, suku, atau taksa lainnya
- Jika suatu tanaman terkenal, kemungkinan mempunyai banyak nama umum.
- Kadang-kadang dua atau lebih tanaman yang berbeda mempunyai nama umum yang sama atau sebaliknya
- Banyak jenis khususnya yang langka tidak mempunyai nama umum Pemakaian nama umum ini akan menimbulkan kericuhan yang tiada henti-hentinya
- Jika dalam satu negara saja sudah tidak ada keseragaman dan dapat terjadi salah pengertian, apalagi dalam taraf internasional kesimpang-siuran yang sudah pasti timbul akan lebih hebat lagi. Karena itu dalam dua abad terakhir ini pemakaian nama ilmiah dalam botani sudah menjadi kebiasaan yang umum di seluruh dunia.
1.3. NAMA ILMIAH
Nama ilmiah adalah
”nama-nama dalam bahasa yang diperlakukan sebagai bahasa Latin, tanpa
memperhatikan dari bahasa mana asalnya kata yang digunakan untuk nama tadi”.
Salah satu keuntungan nama ilmiah ialah bahwa penentuan, pemberian atau cara
pemakaiannya untuk setiap golongan tumbuhan dapat dilakukan berdasarkan suatu
aturan atau sistim tatanama (Rifai, 1973). Nama ilmiah juga merupakan suatu
kunci pembuka khazanah ilmu pengetahuan tentang suatu jenis, karena dengan
menggunakan nama ilmiah maka segala perbendaharaan pengetahuan manusia yang
terkumpul dalam pustaka-pustaka akan terbuka bagi kita untuk ditelusuri,
dipelajari, ditelaah, diolah dan dimanfaatkan.
1.4. PRINSIP DAN PERATURAN TATANAMA TUMBUHAN
- Tatanama botani tidak berhubungan dengan tatanama zoologi. Nama yang sama yangdiberikan pada tumbuhan bisa juga digunakan ahli zoologi pada hewan
- Pelaksanaan penamaan di dalam kelompok taksonomi ditentukan dengan menggunakan tipe tatanama. Tipe untuk famili adalah genus, tipe untuk genus adalah jenis, tipe untuk jenis adalah spesimen dan seterusnya.
- Tatanama dari kelompok taksonomi haruslah berdasar pada prioritas publikasi, dan nama yang benar adalah nama yang telah dipublikasi terlebih dahulu dan mengacu pada aturan-aturan. Tatanama yang telah dipublikasikan lebih dulu harus dipakai sebagai dasar pada publikasi berikutnya.
- Setiap kelompok taksonomi, batasannya, posisinya dan urutannya bisa membuat satu nama yang benar.
- Nama ilmiah kelompok taksonomi disajikan dalam bahasa Latin tanpa menghiraukan asalnya. Aturan untuk penamaan genus dan penunjuk jenis sama juga dengan yang lain harus dalam bahasa Latin
- Aturan tatanama adalah berlaku surut kecuali hal-hal yang kecil.
- Suatu nama yang sah tidak boleh ditolak karena alas an tidak disukai atau karena kehilangan arti aslinya. Contoh: Hibiscus rosa-sinensis, aslinya bukan di Cina. Perubahan nama hanya boleh dilakukan biala sudah betul-betul diteliti taksonominya.
1.5 KOMPOSISI NAMA ILMIAH
Nama ilmiah suatu jenis
merupakan penggabungan 3 hal :
1. Genus
2. Spesies epithet
(penunjuk jenis)
3. Author
Contoh : Daucus carota L.
Nicotiana tabacum L
Nama-nama genera
- Kata benda tunggal dalam
bahasa Latin atau dilatinkan dengan inisial huruf besar
- Setelah penulisan pertama
pada genus yang sama boleh disingkat, contoh: Quercus alba Õ
Q. alba, Q. rubra
- Tidak boleh terlalu
panjang
- Tidak boleh menggunakan
nama yang sama dengan jenisnya
Contoh: Salacca zalaccaÕ
tidak dianjurkan
Penunjuk Jenis
- Biasanya berupa kata
sifat, akhirannya disesuaikan dengan nama marga.
Contoh: Syzygium
aromaticum
- Dalam bahasa Latin atau
dilatinkan
- Bisa berasal dari
berbagai bentuk (nama orang, nama tempat, nama umum, dll.)
- Tidak boleh terlalu
panjang
- Tidak boleh mengulang
nama marga
- Ditulis dengan huruf
kecil dan apabila terdiri dari 2 suku kata harus diberi tanda sambung.
Contoh: Hibiscus
rosa-sinensis
Ipomea pes-capre
Author
Author adalah nama
pengarang yang menerbitkan nama sah takson itu untuk pertama kali. Tujuan
pencantuman nama author adalah supaya penunjukan nama suatu takson tepat dan
lengkap serta memudahkan penelitian tentang keabsahan nama. Contoh : Daucus
carota L. (L.Õ Linnaeus)
Vernonia acaulis (Walter) Gleason
Penamaan cultivar dan
varietas
Nama cultivar biasa
disingkat dengan c.v. tidak dalam bahasa Latin atau dilatinkan. Contoh : Mangifera
indica c.v. harum manis Citrullus lanatus c.v. Crimson sweet
Nama varietas biasa
disingkat var. ditulis dalam bahasa Latin atau dilatinkan. Contoh :
Licuala gracilis var. gracilis
Oryza sativa var. javanica
1.6. TINGKAT KESATUAN TAKSONOMI
Untuk memudahkan penentuan
hubungan kekerabatan dan memperlancar pelaksanaan penggolongan tumbuhan, maka
diadakan kesatuan-kesatuan taksonomi yang berbeda-beda tingkatnya. Sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang dicantumkan dalam Kode Tatanama, maka suatu
individu tumbuhan dapat dimasukkan dalam tingkat-tingkat kesatuan taksonomi
sebagai berikut (dalam urutan menurun, beserta akhiran-akhiran nama ilmiahnya):
-
Dunia
tumbuh-tumbuhan (Regnum Vegetabile)
-
Divisi (divisio
-phyta)
-
Anak divisi (sub
divisio -phytina)
-
Kelas (classis
-opsida, khusus untuk Alga –phyceae)
-
Anak kelas
(subclassis –idea)
-
Bangsa (ordo
–ales)
-
Anak bangsa
(subordo –ineae)
-
Suku (familia
–aceae)
-
Anak suku
(subfamilia –oideae)
-
Puak (tribus
–eae)
-
Anak puak
(subtribus –inae)
-
Marga (genus;
nama ilmiah marga dan semua tingkat di bawahnya tidak diseragamkan akhirannya)
-
Anak marga
(subgenus)
-
Seksi (sectio)
-
Anak seksi
(subsectio)
-
Deret (series)
-
Anak deret
(subseries)
-
Jenis (species)
-
Anak jenis (sub
species)
-
Varietas
(varietas)
-
Anak varietas
(subvarietas)
-
Forma (forma)
-
Anak forma
(subforma)
Urutan tingkat-tingkat
kesatuan taksonomi itu tidak boleh diubah atau dipertukarkan. Dengan tidak memperhatikan
tingkatnya maka setiap kesatuan taksonomi tersebut (misalnya suku, jenis,
varietas) masing-masing disebut takson.
1.7. TIPE TATANAMA TUMBUHAN
Untuk menghindari kekacauan
dalam pemakaian nama ilmiah maka Kode Internasional Tatanama Tumbuhan (KITT)
menetapkan bahwa penerapan nama-nama takson dari tingkat suku ke bawah ditentukan
berdasarkan tipe tatanama. Suatu tipe tatanama adalah salah satu unsur penyusun
takson yang selalu dikaitkan dengan nama takson yang bersangkutan untuk
selama-lamanya. Tipe tatanama tidak perlu merupakan unsur atau spesimen atau
contoh yang paling khas daripada takson; tipe hanyalah suatu unsur yang
selamanya dikaitkan dengan nama.
Tipe yang digunakan dalam
tatanama secara umum adalah:
- Holotipe (= holotypus), ialah suatu spesimen atau unsur lain yang dipakai oleh seorang pengarang atau ditunjuk olehnya sebagai dasar waktu pertama kali mengusulkan nama jenis baru. Selama holotipe masih ada, penerapan nama yang bersangkutan dengannya dapat dipastikan secara otomatis. Kalau pengarang yang mempertelakan suatu takson tidak menentukan holotipe, atau kalau holotipe hilang maka tipe pengganti atau tipe baru dapat ditunjuk untuk menggantikannya.
- Tipe pengganti (= Lectotype), ialah suatu spesimen atau unsur lain dari spesimen-spesimen asli (isotope atau sintipe) yang dipilih untuk menjadi tipe tatanama, kalau holotipe tidak ditentukan atau holotipe hilang atau hancur.
- Isotipe (= Isotype), ialah duplikat (bagian dari suatu nomor koleksi yang dikumpulkan dalam waktu yang sama) dari holotipe.
- Sintipe (= Syntypus), ialah salah satu daripada beberapa spesimen atau contoh yang disebutkan pengarang kalau holotipe tidak ditentukan, atau slah satu daripada beberapa specimen yang bersama-sama ditunjuk sebagai tipe.
- Tipe baru (= Neotypus), ialah spesimen yang dipilih untuk menjadi tipe tatanama, kalau holotipe hilang atau rusak dan tidak mungkin untuk menunjuk tipe pengganti karena tidak adanya isotope atau sintipe.
Nama-nama baru yang
diusulkan untuk mengganti nama-nama lain, ataupun nama-nama kombinasi baru yang
berasal dari nama-nama sebelumnya, haruslah memakai tipe-tipe tatanama dari
namanama yang lebih tua atau yang digantinya.
1.8. SATU TAKSON SATU NAMA
Salah satu asas penting
dalam Kode Tatanama yaitu kesatuan taksonomi hanya boleh mempunyai satu nama
ilmiah yang tepat, yaitu nama tertua yang sesuai dengan peraturan-peraturan.
Hal ini diadakan untuk mengatasi kemungkinan dipakainya beberapa nama ilmiah
yang berlainan untuk suatu takson yang sama (sinonim). Sebaliknya peraturan
yang sama juga perlu untuk menghindari pemakaian satu nama ilmiah yang sama
untuk beberapa taksa yang berbeda (homonim). Untuk menghindari
penggonta-gantian nama marga dan suku yang timbul sebagai akibat penerapan peraturan-peraturan
(terutama asas prioritas) secara konsekuen, maka beberapa nama diawetkan untuk
terus dipertahankan pemakaiannya, misalnya: Palmae = Arecacea, Graminae =
Poaceae, Cruciferae = Brassicaceae, Leguminosae = Fabaceae, Guttiferae =
Clusiaceae, Umbelliferae = Apiaceae, Labiatae = Lamiaceae, Compositae = Asteraceae
0 Response to "Tata Nama (Nomenklatur) Ilmu Taksonomi Tumbuhan"
Post a Comment